Senin, 04 Maret 2013 0 komentar

Lorong waktu yang menciut

Suatu sore, yang diam. Hanya gerimis yang lesu sedari tadi, membisu lewat bahasanya. Sepasang burung mesra, berteduh, menekuk matanya, melipat paruhnya. Lelaki bermata empat menembus hujan dan di tanganya sepucuk belati, bermata sakit hati. "Ooo, kenanga berwajah murka, sampai kapan kau akan berkelana?"

Perempuan bertudung duka keluar dari balik kamar rahasia, tergesa-gesa. Menjemput anak kecil yang menangis di bawah lampu, yang duduk termangu, yang sudah bosan membaca cuaca, lelah mengeja peristiwa. Lihatlah, kereta kuda berkaki delapan belas melaju, menerbas, beringas. Dihadanglah ribuan pelayat pikun yang terburu-buru, yang setia, merapal doa demi doa.

Ada manusia berbau bunga melati, menekuri tasbih, dari matanya keluar mutiara. Di sampingnya bapak-bapak yang lelah, tatapan matanya selalu gelisah.Mungkin karena menanggung dosa atau rasa bersalah.
Seorang wanita paruh baya memapah kakek tua berwajah tuhan, berbaju baju orang-orang di pemakaman. Gadis malang betubuh mungil di gendong penyair, berteriak tentang sajak berirama dua, tak jelas, samar-samar bunyinya. Kucing liar bermata emas meloncat, melewati orang-orang yang terperanjat.

Orang gila berbaju raja, duduk tenangnya, menulis cerita.


Jakarta, 4 Maret 2013


 
;