Selasa, 10 Desember 2013 1 komentar

Malam di pelupuk matamu

Pudarlah segala rahasia, yang terselip diantara perjumpaan-perjumpaan kita.
Lalu berbaringlah di pundakku, hai wanitaku. Kita akan menghabiskan malam dengan lilin-lilin yang pendar cahayanya teduh. Kita akan tidur dengan pengantar musik irama negeri seberang, suasana kota Jakarta.

Tak perlu lagi kau khawatirkan, apa besok kita akan bertemu di tempat biasa. Karena sepnjang malam ini, kenangan terbaik apa yang bisa kita ciptakan?

Kamis, 07 November 2013 0 komentar

Etalase senja (1)

Langit mega yang menguning dan laut lepas berwajah kunang-kunang, dibaliknya perahu-perahu merapat lambat dan siap tertambat. Dermaga yang temaram, pelabuhan terakhir bagi yang memuja sunyi. Pasir-pasir mengendap lindap dengan tenang, orang-orang sudah terlalu lama menunggu dan bergegas pulang

Para nelayan bersiap, menggendong jala-jala. Wajah-wajah gelisah terekam dari balik bulan purnama. Ooo,,malam tak pernah terlambat datang.
Burung camar melayang-layang, membelah ombak. Menunggu matahari berpamitan pada dunia di belahan ini.

Sepasang kekasih bergandengan tangan, menyusuri cakrawala. Perbincangan yg tiada maksud dan ujungnya, tetap renyah diantara suasana senja.

Kamis, 30 Mei 2013 0 komentar

Suatu sore di Cawang-Cikoko

Hai gadis beralis senyuman, bicaralah. Diammu terlalu sulit untuk aku artikan....

Sore itu.
Orang-orang lalu-lalang, berombak, berbuih menenggelamkan perbincangan kita. Aku mendekat. Kaupun melemparkan jala. Aku ikan yang terperangkap. Aku pasrah. Kaupun serupa kail pancing yang menari-nari, di tengah keributan ini, di sepanjang sore ini.

Sore itu.
Jalanan tampak mengerucut, kita sengaja berlari kecil menuju oranye di ujung sana. Kita sengaja berlarian, berlompatan, aku lagi-lagi tenggelam diantara manusia. Dan tiba-tiba kaupun hilang.

Sore itu.
Aku menyelam. Tenggelam lagi, di dasar kaki-kaki. Kaupun berkelebat. Sekilas kau terlihat diantara dua sisi jalan yang teramat dekat. Aku tak ingat.

(masih) Sore itu.
Tiba-tiba aku tersadar, diantara tatapan orang-orang.  Mereka masih lalu-lalang. Kaupun terlanjur hilang.

Hai gadis bermata rindu, kemana aku harus mencarimu.







Depok, 4 Mei 2013




Senin, 04 Maret 2013 0 komentar

Lorong waktu yang menciut

Suatu sore, yang diam. Hanya gerimis yang lesu sedari tadi, membisu lewat bahasanya. Sepasang burung mesra, berteduh, menekuk matanya, melipat paruhnya. Lelaki bermata empat menembus hujan dan di tanganya sepucuk belati, bermata sakit hati. "Ooo, kenanga berwajah murka, sampai kapan kau akan berkelana?"

Perempuan bertudung duka keluar dari balik kamar rahasia, tergesa-gesa. Menjemput anak kecil yang menangis di bawah lampu, yang duduk termangu, yang sudah bosan membaca cuaca, lelah mengeja peristiwa. Lihatlah, kereta kuda berkaki delapan belas melaju, menerbas, beringas. Dihadanglah ribuan pelayat pikun yang terburu-buru, yang setia, merapal doa demi doa.

Ada manusia berbau bunga melati, menekuri tasbih, dari matanya keluar mutiara. Di sampingnya bapak-bapak yang lelah, tatapan matanya selalu gelisah.Mungkin karena menanggung dosa atau rasa bersalah.
Seorang wanita paruh baya memapah kakek tua berwajah tuhan, berbaju baju orang-orang di pemakaman. Gadis malang betubuh mungil di gendong penyair, berteriak tentang sajak berirama dua, tak jelas, samar-samar bunyinya. Kucing liar bermata emas meloncat, melewati orang-orang yang terperanjat.

Orang gila berbaju raja, duduk tenangnya, menulis cerita.


Jakarta, 4 Maret 2013


 
;